Home » » Bisnis Klinik Perawatan Kecantikan LBC dan NSC

Bisnis Klinik Perawatan Kecantikan LBC dan NSC

Ditulis Oleh Unknown on Selasa, 27 Oktober 2015 | 01.43


London Beauty Center (LBC) Vs Natasha Skin Care (NSC) - Perang Saudara di Bisnis Klinik Perawatan Kecantikan.

Pasangan suami istri ini Anton Yuwono dan Watji Niwati (istri) mungkin tidak pernah menyangka usaha yang mereka jalani bakal menjelma menjadi sebuah bisnis berskala nasional dan cukup besar. Pasalnya, bisnis klinik kecantikan yang mereka jalankan saat ini awalnya iseng semata-mata. Karena melihat banyak perempuan berduit  melawat ke Singapura untuk  sekadar melakukan perawatan kulit dan wajah,  sang istri kemudian mencoba memasarkan sebuah krim perawatan kulit yang dikenal dengan merek Mezo Therapy. "Istri saya kebetulan juga sering ke Singapura untuk keperluan perawatan kulit," kata Anton yang  awalnya  membuka toko emas Obor di Yogyakarta.


"Krim tersebut awalnya dipasarkan dengan cara di titipkan kepada para relasi di Pasar Beringharjo," tempat mereka membuka toko emas dan para karyawati di Yogya dan sekitarnya. "Ternyata krim ini sangat diminati, karena banyak yang merasa cocok," ujar pria kelahiran 10 November 1950 ini. Dalam waktu yang terbilang singkat, Niwati berhasil menjual krim dalam jumlah lumayan besar.


Berbekal pengalaman, setahun kemudian pasangan suami-istri ini memberanikan diri lebih serius menekuni bisnis klinik kecantikan. Tepatnya pada 19 Juli 1998, berdirilah klinik perawatan kulit dengan bendera London Beauty Centre (LBC) di Yogya.


Di tengah krisis ekonomi yang mencekik, bisnis skin care yang dikelola Anton malah berkembang pesat. Jumlah pasiennya terus bertambah. Mereka membawa berbagai problem yang berhubungan dengan penampilan fisik, mulai dari masalah jerawat, bopeng, keriput hingga pelangsingan tubuh. Dan, karena pertumbuhan bisnis kecantikan yang sangat menjanjikan, ia dan istrinya rela melepaskan pengelolaan toko emas Obor kepada saudara-saudaranya yang lain. Mereka memilih konsentrasi untuk mengembangkan klinik kecantikan LBC.


Perkembangan pesat mulai dirasakan LBC setelah tahun 2001, yaitu dengan membuka cabang di empat kota sekaligus: Bandung, Jakarta, Solo dan Denpasar. Pendirian cabang dilakukan setiap tahun. Dan kini telah tersebar di 23 kota dengan 30 cabang. "Setiap ada tawaran buka cabang di suatu kota langsung kami respons, jika memungkinkan kami langsung bisa membukanya," kata Anton.


Namun  rupanya, sukses Anton  dan Niwati tidak bisa dinikmati terlalu lama.  Diam-diam 1999  telah muncul  klinik serupa, yakni  Natasha Skin Care (NSC) di Ponorogo, Jawa Timur. Pendirinya  adalah dr. Fredi Setyawan, ahli dermatologi, beserta istrinya Tantri Onni Bianti,   mantan  orang kepercayaan  Anton  yang juga  terbilang keluarga dekat karena Anton adalah paman dari istrinya Fredi.


Tak pelak,  keberadaan  NSC yang terus melakukan ekspansi ke Madiun, Surabaya, hingga Yogya  membuat Anton dengan LBC-nya murka.  Apalagi  ketika Fredi sengaja  memasuki 'daerah kekuasaan' LBC di Yogya  di lokasi tak jauh dari LBC berada. "Benar-benar seperti mengajak perang terbuka," ujar seorang sumber yang dekat dengan kedua belah pihak yang enggan disebutkan namanya. Bagaimana tidak,  hanya selang sebulan sejak LBC membuka lokasi baru di kawasan Kotabaru (Jl. Suroto 12),  NSC  pun meresmikan  kliniknya hanya  beberapa meter dari LBC, yakni di Jl.  Supadi,  Kotabaru, Yogya.


Keduanya  mengelak jika dikatakan bahwa persaingan mereka sudah  emosional dan  tidak sehat lagi. Menurut Fredi, dalam setiap membuka cabang dia tidak bermaksud menyaingi pihak mana pun. Yang dilakukannya semata-mata melihat peluang pasar. Bilamana di suatu tempat masih ada peluang pasar, maka dia akan membuka di tempat itu, tidak peduli apakah sudah ada kompetitor atau belum. "Kami tidak memiliki pesaing. Kami sudah jauh meninggalkan pemain bisnis kecantikan lainnya, termasuk yang lebih senior," kilah Fredi. Menurutnya,  sebagai pengusaha, ia harus siap bersaing dengan siapa pun. Bukan hanya dengan pengusaha dalam negeri, tapi juga pengusaha dari luar negeri. Karena itulah, ia melakukan segala upaya agar NSC bisa terus eksis.

Apa pun  alasan Fredi, Anton  merasa disaingi. "Lihat saja, saya buka di Kotabaru, dia ikut buka di tempat yang sama, jaraknya dekat sekali," ujar Anton dengan nada kecewa. Toh, ia mengaku berbesar hati. "Tidak  apa-apa, kami punya pasar sendiri-sendiri," sergahnya.

Kalau soal  kecewa  terhadap  Fredi,  itu  sudah  dirasakan sebelumnya. Fredi sempat dikursuskan di London Research Centre, lembaga kursus perawatan kulit ternama di Singapura. "Anton kecewa berat karena ternyata Fredi tidak loyal terhadap dirinya," ungkap sumber SWA seraya menambahkan bahwa hingga sekarang Anton memutuskan  komunikasi dengan  Fredi. "Ya, kami memang sudah tidak berkomunikasi lagi," Fredi membenarkan.


Putusnya komunikasi antara Fredi dan Anton pun membuat persaingan bisnis keduanya kian tajam. Fredi terus berupaya menambah jumlah cabangnya. Baginya, dengan membuka cabang sebanyak mungkin merupakan strategi untuk merebut pasar. Walau demikian, ia mengaku tidak memiliki target jumlah cabang yang harus dibuka setiap tahun. "Pokoknya, setiap tahun harus ada cabang baru. Tahun ini kami membuka 6 cabang," katanya.


Untuk pengembangan  cabang baru, Fredi mengaku tidak pernah bekerja sama dengan pihak lain. Bahkan meski banyak permintaan, ia tidak mau mengembangkan bisnisnya dengan cara waralaba. Semua cabang yang ada saat ini adalah miliknya sendiri, termasuk tanah dan gedung yang digunakannya. Ia juga melepaskan ketergantungan pada pihak perbankan. "Repot kalau harus melibatkan orang lain," tandasnya. Per September 2006, jumlah cabang NSC sudah mencapai 30 gerai yang tersebar di 21 kota.


Anton tak mau kalah. Baginya, membuka cabang bukan sekadar cara untuk memenangi persaingan, melainkan sebagai strategi pemasaran yang harus dijalani. "Pasien akan semakin mantap berobat ke tempat kami, kalau jumlah cabangnya banyak," tandas Anton.


Selain terus menambah jumlah cabang, strategi lain yang dijalankan Fredi adalah memberikan pelayanan yang standar di setiap cabang. Seluruhnya dibuat standar, mulai dari dokter, tempat, produk hingga pelayanan. "Kami jamin pasien yang berobat ke kantor pusat di Yogya, akan mendapatkan pelayanan yang sama di kantor cabang," tukas Fredi. Karena itu, untuk operasional NSC, Fredi mengaku mempersiapkan SDM secara khusus mulai dari dokter, beautician sampai petugas office boy sekalipun. "Kami mendidik SDM sendiri agar sesuai dengan standar yang telah kami tetapkan," katanya.  Sementara itu, untuk krim, NSC telah menggunakan produk sendiri dengan merek dr. Fredi Setyawan yang sudah memiliki hak paten, "Kami sudah memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi krim," imbuh Fredi.


Satu lagi strategi untuk memenangi persaingan, yaitu penggunaan teknologi. Untuk menangani beberapa kasus kelainan kulit, NSC memang memanfaatkan teknologi laser. Dan pihaknya tidak segan-segan untuk selalu investasi bila ada produk laser baru yang canggih. "Semua itu demi kepuasan konsumen," kata bapak dua anak ini.


Berbeda dari NSC, LBC lebih memilih untuk menggunakan metode perawatan facial dan chemical peeling. Untuk krim kosmetik, LBC menggunakan produk yang diramu apoteker. Karena itulah, sebagian cabang LBC juga dilengkapi dengan fasilitas apotek. Namun sejak 2005, LBC sudah memiliki pabrik produksi kosmetik sendiri dengan merek LBC.


Selain metode tersebut, LBC juga menggunakan suatu alat bantu teknologi pengelupasan kulit Oxy Skin, yang hanya digunakan untuk pengelupasan kulit pada lapisan luarnya. Menurut Anton, sebenarnya ada alat yang efektif untuk menangani kasus seperti jerawat, yakni menggunakan teknologi laser. Namun, ia mengaku tidak mau menggunakannya dengan alasan memiliki efek samping yang merugikan pasien. "Dibandingkan dengan menggunakan Oxy Skin, laser memang lebih cepat memperlihatkan hasil, tapi dampaknya kurang baik untuk kesehatan," Anton menegaskan.


Menurut pengamat bisnis dari Centre for Business and Economic Studies  Yogya, Nur Feriyanto, persaingan antara LBC dan NSC memang menarik untuk diamati. Ia melihat masing-masing berusaha menjadi pemain nomor satu. Kendati demikian, menurutnya NSC boleh dibilang telah melaju jauh meninggalkan kompetitor yang lain. "NSC terlihat unggul bila dilihat dari penampilan gedungnya yang didesain sedemikian rupa untuk memberi keyamanan bagi pasiennya," ujar Nur yang juga pengelola Magister Manajemen Universitas Islam Indonesia.


Nur berpendapat, walau termasuk kategori perusahaan keluarga, NSC ditangani dengan manajemen yang modern. Hal ini terlihat dari penampilan setiap cabang yang diusahakan memiliki pelayanan standar, baik untuk gedung maupun peralatan yang digunakan. "Untuk  jasa kecantikan,  penampilan  semacam itu  cukup penting  dan menjadi pertimbangan tamu yang datang ke sana,"  tambahnya.



sumber : https://swa.co.id
Bagikan artikel ini :

2 komentar:

  1. Wah baru tahu sejarah dan muasal LBC dan NSC dari artikel ini. Seperti alfamart vs indomart yg pastinya akan punya segmen pasar sendiri, begitupun dengan 2 klinik kecantikan ini. Dari awal kenal LBC dan langsung merasakan kecocokan sehingga saya merasa nyaman dan tidak ingin berpaling. Pelayanan oke ditambah harganya yg terjangkau untuk pemakaian 1 pot krim yang bisa digunakan untuk 2 sampai 3 bulan. Ternyata bukan waralaba ya. Duhh makin syukaaa

    BalasHapus
  2. Tetapi sekarang lbc sudah ada layanan laser kalau dibilang merugikan pasien spt tulisan diatas kenapa sekarang ada jd bagaimana.....

    BalasHapus